Foto: Karolus Sinu Ebang |
Hari
Rabu setiap Minggu adalah hari pasar di Pasar Oka, Desa Lamawalang. Walau
terletak di desa Lamawalang, pasar tersebut sejak lama lebih populer dikenal
dengan nama Pasar Oka. Oka sendiri adalah nama sebuah wilayah dari Desa
Lewoloba, desa yang berbatasan langsung dengan Desa Lamawalang.
Meski
hari Rabu ditetapkan hari pasar di Oka, aktivitas jual beli sudah dimulai dari
hari Selasa sekitar pukul 11:00. Pasar Oka adalah pasar mingguan. Letak pasar
ini persis di tepi ruas jalan negara Larantuka - Maumere, ruas jalan yang kini
belum bernama. Letak pasar di tepi jalan negara inilah yang menjadi daya tarik
tersendiri untuk bertemunya penjual dan pembeli, ataupun bagi mereka yang hanya
sekedar jalan-jalan saja.
Ada
yang pernah menceriterakan bahwa pasar di Lamawalang ini bernama Pasar Oka
karena pasar ini dahulunya terletak di Oka. Lokasi lama ini tepatnya sekarang
berada di simpang Badu, tepat di tepi pantai. Pasar ini sudah menjadi favorit
penjual dari Sikka, Pulau Adonara maupun Pulau Solor. Karena nama besar Pasar
Oka ini, ketika berpindah lokasi di Lamawalang pun tetap tidak berganti nama
menjadi Pasar Lamawalang.
Keseriusan
Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur dalam menata lokasi pasar ini tentu
berdampak pada perekonomian masyarakat. Ini ditunjukkan dengan menyediakan
fasilitas seperti los pasar dan juga ruko-ruko di area pasar. Begitu pula
dengan jalan masuk pasar, pagar dan terakhir yang seminggu ini baru selesai
dikerjakan adalah betonisasi bahu jalan negara di dekat pasar ini.
Kondisi
Pasar Oka yang menjadi favorit warga sekitar ini pun berdampak pada kemacetan
dan kesemrawutan. Suatu situasi yang tidak hanya dimonopoli oleh Pasar Tanah
Abang di Jakarta. Berbagai upaya penertiban, baik penertiban kendaraan yang
dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Flotim maupun pengaturan lalulintas
oleh Kepolisian Resort Flotim sejauh ini belum berdampak signifikan. Kendaraan
bermotor roda dua masih tetap diparkir begitu saja di bahu jalan. Malahan ada
angkutan umum jenis bemo yang dengan santainya memarkir kendaraan masih diatas
badan jalan. Ini hal yang lumrah ditemui di sana.
Kebiasaan-kebiasaan
ini akhirnya digunakan sebagai pembenaran bagi para pelanggar aturan. Mereka
membenarkan diri karena warga pengguna sudah terbiasa turun temurun memarkir
kendaraan di badan jalan raya. Dan Kota kecil Larantuka ini tetap saja ada
kemacetan. Kota yang panjangnya tidak sampai 30 km dan lebarnya kurang dari 5
km ini tetap sulit ditata dengan baik. Mungkinkah adat dan kebiasaan warga yang
tak baik menjadikan kota ini tidak dapat diatur dengan baik? (Teks: Karolus
Sinu Ebang, Edit: Simpet)