Info&tanya jawab

Selasa, 13 November 2018

Pasar Oka: Ramai Tapi Mesti Lebih Tertata

Foto: Karolus Sinu Ebang


Hari Rabu setiap Minggu adalah hari pasar di Pasar Oka, Desa Lamawalang. Walau terletak di desa Lamawalang, pasar tersebut sejak lama lebih populer dikenal dengan nama Pasar Oka. Oka sendiri adalah nama sebuah wilayah dari Desa Lewoloba, desa yang berbatasan langsung dengan Desa Lamawalang.
Meski hari Rabu ditetapkan hari pasar di Oka, aktivitas jual beli sudah dimulai dari hari Selasa sekitar pukul 11:00. Pasar Oka adalah pasar mingguan. Letak pasar ini persis di tepi ruas jalan negara Larantuka - Maumere, ruas jalan yang kini belum bernama. Letak pasar di tepi jalan negara inilah yang menjadi daya tarik tersendiri untuk bertemunya penjual dan pembeli, ataupun bagi mereka yang hanya sekedar jalan-jalan saja.
Ada yang pernah menceriterakan bahwa pasar di Lamawalang ini bernama Pasar Oka karena pasar ini dahulunya terletak di Oka. Lokasi lama ini tepatnya sekarang berada di simpang Badu, tepat di tepi pantai. Pasar ini sudah menjadi favorit penjual dari Sikka, Pulau Adonara maupun Pulau Solor. Karena nama besar Pasar Oka ini, ketika berpindah lokasi di Lamawalang pun tetap tidak berganti nama menjadi Pasar Lamawalang.
Keseriusan Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur dalam menata lokasi pasar ini tentu berdampak pada perekonomian masyarakat. Ini ditunjukkan dengan menyediakan fasilitas seperti los pasar dan juga ruko-ruko di area pasar. Begitu pula dengan jalan masuk pasar, pagar dan terakhir yang seminggu ini baru selesai dikerjakan adalah betonisasi bahu jalan negara di dekat pasar ini.

Kondisi Pasar Oka yang menjadi favorit warga sekitar ini pun berdampak pada kemacetan dan kesemrawutan. Suatu situasi yang tidak hanya dimonopoli oleh Pasar Tanah Abang di Jakarta. Berbagai upaya penertiban, baik penertiban kendaraan yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Flotim maupun pengaturan lalulintas oleh Kepolisian Resort Flotim sejauh ini belum berdampak signifikan. Kendaraan bermotor roda dua masih tetap diparkir begitu saja di bahu jalan. Malahan ada angkutan umum jenis bemo yang dengan santainya memarkir kendaraan masih diatas badan jalan. Ini hal yang lumrah ditemui di sana.
Kebiasaan-kebiasaan ini akhirnya digunakan sebagai pembenaran bagi para pelanggar aturan. Mereka membenarkan diri karena warga pengguna sudah terbiasa turun temurun memarkir kendaraan di badan jalan raya. Dan Kota kecil Larantuka ini tetap saja ada kemacetan. Kota yang panjangnya tidak sampai 30 km dan lebarnya kurang dari 5 km ini tetap sulit ditata dengan baik. Mungkinkah adat dan kebiasaan warga yang tak baik menjadikan kota ini tidak dapat diatur dengan baik? (Teks: Karolus Sinu Ebang, Edit: Simpet)

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar